Kabar Angin di UGM

Cerita di Kelas Teori Akuntansi -Jumat 7 November 2008-

Walau sudah bukan headline lagi, saya cuma mencoba menceritakan kembali saat-saat itu.
Saya sedang berada di ruang kelas U214 untuk kuliah Teori Akuntansi bersama Pak Suwardjono. Hari itu kita dijanjikan kuis untuk memasuki BAB baru, saya dan teman-teman lumayan belum siap dan berharap bapak dosen mau menunda atau bahkan membatalkan kuis tersebut, mengingat mata kuliah yang sedikit sulit dipahami jika harus mengandalkan buku teks yang beliau susun sendiri itu. Beberapa menit prolog dari pak dosen sambil beliau mengutak-atik komputer kelas yang tak kunjung merespon CD yang berisi soal kuis tersebut, kemudian beliau berkata "Kalau CD-drive nya tidak berfungsi, dan kebetulan saya tidak membawa flashdisk, kemungkinan kuis ditunda", saya pun mengamini dalam hati-dan saya yakin teman-teman yang lain juga demikian-. Operator kuliah kemudian pak dosen panggil untuk membantu operasi komputer itu, dan sejurus kemudian diputuskan kuis untuk ditunda pekan depan karena pada akhirnya CD-drive itu memang sedang error. --Sorak-Sorak Bergembira..Bergembira
Bersama…--

Listrik Padam

Perkuliahan berjalan sebagaimanamestinya, hingga 30 menit kemudian..
Menjelang akhir kuliah seringkali menyiksa, karena selain termasuk kedalam kategori kuliah siang yang membosankan dan membuat mata terpejam memang menit-menit terakhir tidaklah kondusif lagi untuk sebuah perkuliahan berdurasi 150 menit. Pak dosen sudah menyadari akan kegelisahan kami yang hendak segera mengakhiri kuliah, dan tiba-tiba listrik padam. Saya yakin, jika saat itu memang terjadi sabotase (dari insiden komputer hingga listrik padam) dari pihak mahasiswa atau pihak manapun, maka ia telah sukses mengganggu kegiatan belajar mengajar kami, ia sukses membuat dosen gelisah, jengkel, bete dan akhirnya ingin segera menyudahi perkuliahan. 

Tak lama, listrik menyala kembali yang didukung oleh tenaga cadangan (sepertinya diesel). Karena setelah listrik padam dan menyala lagi maka komputer harus restart dan viewer harus dinyalakan dengan remote yang berada di tangan operator kuliah, secara tidak resmi sesi disudahi. Tapi sepertinya bapak termasuk dosen yang taat dengan jatah waktu kuliah, karena jika lebih maupun kurang, maka dosen secara langsung telah menzholimi mahasiswa. So, ia tetap melanjutkannya. Tak lama..

And The Moment's Begun

Terdengar siulan angin dari arah utara (kebayang kan.. kalau angin sampai terdengar siulannya, berarti knot-nya gede). Kemudian serta-merta terdengar bunyi dahan yang menggelepak-gelepak dekat jendela (mereka yang duduk dekat jendela khawatir dahannya menabrak hingga memecahkan jendela. Juga bunyi sesuatu yang pecah, yang kemudian setelah ditengok ternyata atap asbes terbang  dan rusak. Dari arah depan ruang kelas, kayu pembatas yang kira-kira baru bisa diangkat sama 4 orang-an tiba-tiba doyong dan jatuh, tapi tidak sampai pecah kacanya (berarti yang bikin jago itu..). Dan tidak lupa bunyi pintu dan jendela yang bergetar. Secara otomatis kita tidak lagi berfokus pada penjelasan dosen, tapi mencari cara agar bisa keluar, tapi di luar juga tidak aman sepertinya. Berbeda dengan bencana gempa, jika terjadi maka kita dianjurkan untuk keluar gedung, tapi kalau angin kencang begini, kalau keluar malah berbahaya, maka kita diminta tidak keluar ruangan hingga
reda.  Genting-genting gedung Utara beterbangan, beberapa membolongi alang-alang ruang kelas dan air hujan yang deras itu pun membanjiri, kelas bubar seketika. Setelah hal ini terjadi, tidak ada prasangka lagi ada sabotase penggagalan kuliah, karena kejadian yang terakhir adalah murni peristiwa alam. 

Kehebohan tidak terjadi saat itu saja, melainkan pasca kejadian. Kami serentak keluar, di luar mahasiswa lain memenuhi koridor, memandangi setiap spot-spot kerusakan properti. Terlihat di parkiran dosen sebelah timur gedung FEB UGM, pohon-pohon berumur berdahan besar tumbang menjatuhi  mobil di bawahnya.Yang saya lihat satu mobil hingga pecah jendelanya dan satu lagi bentuknya tetap bertahan. Mungkin akan lebih dramatis jika dilihat dari atas, karena atap yang bolong-bolong.

We're Nothing

Sesaat aku merasakan hawa itu, hawa keangkuhan yang teruntuhkan oleh alam. Setiap harinya yang sering terlihat dan terbayang adalah FEB rapi jali, bersih, tertata rapi, dan beberapa kali diupgrade dan dirawat dengan pembangunan taman, pelebaran parkir, penambahan public TV, dan yang lainnya. Penambahan beberapa fasilitas memang beralasan dan bermanfaat, tapi bukan berarti kami sepenuhnya senang dengan hal-hal itu. Kami lebih merasa, betapa fakultas berpusing-pusing dan mengerahkan segala upaya untuk tampil menawan dengan dalih going international. Dari siapa dananya? Tentu saja dari mahasiswa yang membayar sedemikian banyak rupiah.

Setelah bencana ini terjadi, beberapa kawan mengambil hikmah dengan gaya yang berbeda-beda :
--"Kenapa ya yang kena sebagian besar kawasan UGM? Huh…UGM bayarnya mahal sih…Mungkin banyak yang ngedoain jelek"
--"Akhir-akhir ini UGM banyak maksiat, terutama di daerah Grha Sabha Pramana, yang kalau malam suka rame ama anak-anak malem. Ini sebuah peringatan."
--"Kawasan sekitar UGM (walaupun bukan daerah kampusnya) juga sering terpampang spanduk-spanduk agenda dugem di berbagai pub di Jogja, yang banyak dari mahasiswanya main-main ke sana."
--Parahnya, ada teman saya yang menanggapinya dengan "Wah, subhanallah, keren banget moment-nya, bahagia aku bisa melihat kejadiannya langsung, soalnya yang kayak begini kan langka." Kira-kira begitulah ia mengungkapkan rasa senangnya, dan saya tanggapi dengan "Ya iya lah kamu seneng, kan yang ngebenerin semuanya dan bayar kerusakannya bukan kamu…"

Keesokannya, jika angin berhembus sedikit kencang atau hujan agak lebat, memori itu berputar lagi dan berlagak sedikit takut. 
Sepekan kemudian, di kuliah yang sama, pada jam, tempat, dan dosen yang sama pula, akhirnya kuis yang tertunda dapat terlaksana juga.


Selengkapnya...

Bom Waktu Krisis Ekonomi Dunia

Oleh : Iya Yaumil Hakim (Mahasiswa FE Unpad jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan)

Gejolak Moneter yang melanda Amerika Serikat tidak saja mengguncang sendi-sendi ekonomi AS, tetapi juga menimbulkan kepanikan global. Kepanikan itu tercermin pada kekacauan bursa saham, harga saham bertumbangan, para pialang mengalami shock, investor dilanda kepanikan, nasabah menyerbu bank, nilai tukar mata uang anjlok, kucuran dana pembangunan tersendat, transaksi perdagangan dihentikan, otoritas pemerintah kehilangan akal, dan urat nadi perekonomian terancam bangkrut.

Krisis keungan global “menampar” golongan menengah-atas yang biasa hidup “disurga moneter” : barang mewah, gaya hidup berkilau, bisnis berlian, pakain dan mobil mewah. Namun karena gejolak moneter diramalkan akan lama, “tamparan” juga dirasakan kelas menengah dan kaum miskin, yang hidupnya bergantung pada fluktuasi moneter.


Apa akar permasalahan ini semua???? (red : Sub-prime mortgage)

……….
Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya.


Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus terus meningkat.


Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.

Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung.

Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak.

Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing putih, terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan seterusnya.

Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang bisa rugi?


Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan.

Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.

Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2 triliun!

Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan' ' perusahaan seperti itu dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.

Tapi, itu belum cukup.

Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak cukup lagi: harus computerized!

Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya.

Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah?

Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980, pemerintah bikin keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol Moneter''. Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian.

Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan secara nyata.

Begini ceritanya:

Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR, meski tidak sama).

Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage.

Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka, ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni, tahun 1986.


Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.

Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin.

Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.

Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum lunas.

Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothersi1 ?

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ''para pelaku bisnis keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba.

Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.

Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras.

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan.

Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenis lain'' yang disebut investment banking.

Apakah investment banking itu bank?

Bukan. Ia perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal: menerima macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja: kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah ''personal banking''.

Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana, saya dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.

Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.

Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.

Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran.

Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.

Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar. Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan satu.

Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang ''menabung'' -kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana. Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung.


Apanya yang salah? Kekacauan system ataukah salah mengambil kebijakan?

Membaca analisa Jeffrey D. Sachs pada artikelnya tentang akar permasalahan krisis finansial di US (http://www.project- syndicate. org/commentary/ sachs139), membuat dahi kita sedikit berkerut apakah ini sekedar memang masalah kesalahan kebijakan yang diambil oleh otoritas yang kemudian menyebabkan kecenderungan negatif di pasar keuangan, atau memang karena sistem keuangannya yang kacau, yang dengan kebijakan apapun kecenderungan negatif itu pasti terjadi.

 

Menurut Sachs, semua ini berawal dari ketidak-telitian Fedres (Federal Reserve : Bank Sentral di AS) dalam men-set kebijakan tingkat suku bunga. Kebijakan tersebut memberikan sinyal monetary ekspansi yang mendorong agregat konsumsi di pasar. Kecenderungan konsumsi ini dalam dua tahun terakhir, terkonsentrasi di sektor perumahan. dorongan konsumsi ini diperkuat dengan kemudahan credit system oleh lembaga keuangan khususnya mortgage. Para bankir berasumsi bahwa pada masa mendatang harga rumah akan meningkat, sehingga hakikatnya jikapun nasabah tak mampu membeli, nilai rumah tersebut akan membeli dirinya sendiri. dengan tingkat bunga yang rendah dan ekspektasi (juga kecenderungan yang terjadi) nilai rumah meningkat, tentu akan mendorong kenaikan permintaan akan rumah. Tetapi ketika permintaan itu melambat (menuju posisi "kapasitas terpasang" atau jenuh), jatuh pulalah harga rumah itu jauh di bawah akumulasi kredit yang telah terbentuk.

 

Karena memang posisi para nasabah lemah dalam basis keuangan, tentu potensi kredit macet menghadang lembaga-lembaga mortgage. Jadi peningkatan permintaan terhadap rumah lebih karena kebijakan tingkat suku bunga yang terlalu rendah dan kemudahan prosedur yang diterapkan lembaga keuangan instead of kemampuan keuangan nasabah (genuine demands). Otoritas yang dalam periode sub-prime mortgage ini menaikkan tingkat suku bunga, kembali menurunkan suku bunga tersebut. Tetapi pengalaman pada kegagalan di sektor perumahan sebelumnya ternyata men-drive credit expansion ke arah commodity speculation and foreign currency. Dan terjadilah financial turmoil yang saat ini kita tengah saksikan adegan dramanya.

 

Analisa Sachs sepintas memberikan jawaban yang relatif komprehensif tentang krisis ini. tapi ada benang merah yang membuat krisis ini terus berulang dan beberapa tahun terakhir ini selalu dan bahkan semakin kerap terjadi. Pertanyaan yang menggelitik adalah, mengapa kecenderungan kebijakan dan prilaku rasional pasar tidak bisa diprediksikan implikasi dan konsekwensinya sebelum akibat negatifnya terjadi. Selalu saja analisa "cerdas" datang belakangan.

 

Kalau sedikit menengok kebelakang, krisis-krisis keuangan pada hakikatnya memberikan fenomena yang sama baik kondisi sebelum, sedang maupun sesudahnya. Saya tetap bersikukuh semua berawal dari konsepsi credit system yang mengandalkan suku bunga. keberadaan bunga yang ditetapkan sebelum proses ekonomi, kemudian mendikte pasar dan menentukan prilaku pasar yang misleading dari yang sepatutnya. seharusnya suku bunga menggambarkan tingkat productivity of capital dalam proses ekonomi. Tapi itu tak terjadi. Ketetapan suku bunga seakan-akan menggantikan produktifitas riil ekonomi. Ketika ada gap antara ketetapan suku bunga dengan produktivitas riil, maka kecenderungan prilaku dipasar akan membuat distorsi. Hal ini tentu membuat interaksi pada aplikasi keuangan menjadi unpredictable, uncertaint dan fragile. Lihat saja apa yang menjadi fenomena sub-prime mortgage.

 

Intinya perulangan krisis keuangan yang selalu melanda dunia merupakan hasil dari sistem yang salah dilengkapi dengan prilaku manusianya yang tak terpuji (greedy). Ketika semua pelaku pasar tak ingin menanggung risiko, karena risiko tak bisa hilang (risiko adalah kondisi alamiah yang melekat pada setiap effort & return), maka somehow risiko itu pasti akan meminta korban diantara para pelaku pasar. Sementara pada tataran sistem, credit system telah mendikte pasar untuk tidak perprilaku alamiah. Penetapan suku bunga pada hakikatnya pemastian sebelah pihak terhadap potensi kejadian pada masa depan. Suku bunga (baik tinggi maupun rendah) memaksa pasar harus selalu memberikan return, padahal produktifitas riil bisa saja turun bisa pula naik, mungkin untung mungkin juga rugi. Ketika ada gap maka ini membuat pasar menjadi negatif.

 

Dengan penggambaran di atas, sangat beralasan untuk mengatakan bahwa sepatutnya yang dibenahi oleh para pemegang otoritas adalah pada ranah system, bukan mengutak-utik kebijakan. Wallahu a'lam. Semoga bermanfaat.


1 Salah satu Perusahaan Investasi terbesar di AS yang gulung tikar baru-baru ini, dikarenakan krisis keuangan yang melanda dunia.


i




Selengkapnya...

DARI ISLAM   LIBERAL MENUJU ISLAM PROGRESIF
 oleh : Mumu At-tibty
 
            Diskursus keislaman kontemporer (Alkhitab al-islamiy almu’ashir) telah membahana di berbagai belahan dunia islam. Mesir mungkin bisa dijadikan kiblat wacana keislaman kontemporer, Karena memiliki sejumlah tokoh pembaru yang amat dikenal, antara lain: Muhamad Abduh, Ali Abd al-raziq, Gamal al-banna, Rif’at Thanthawi, Hasan hanafi, dan lain-lain. Pemikiran mereka tidak hanya dijadikan rujukan penting di Negara mereka sendiri, tetapi juga memberi inspirasi bagi segenap dunia islam. Yang sangat menarik dari wacana keislaman mereka adalah upaya memfotokopi pencerahan yang telah mengantarkan barat ke gerbang kejayaan untuk dimanifestasikan dalam kehidupan para muslim. Mereka kritis terhadap barat, tetapi mereka juga mengambil sisi positif dari barat yang merupakan sebuah keniscayaan.
    

Gelombang pemikiran keislaman yang sedang membahana dengan kencang didunia islam tersebut membuktikan bahwa islam sebagai diskursus akan mengalami diaspora yang tak terbendung. Pembaruan pemikiran islam adalah keniscayaan sejarah, dimana ada pemikiran keislaman akan selalu mengikuti sejarah. Istilah al-Qur’an bii allisaa- ni Qoumihi merupakan negosisasi rasional, bahwa islam sebagai doktrin dan norma harus dibahasakan dan ditafsirkan sesuai dengan konteks zaman dan sejarahnya. Contoh yang paling sederhana adalah, bagaimana kita mendefinisikan para penerima (mustahiq) zakat dalam konteks sosial sekarang, pendistribusian dana zakat untuk sektor fakir-miskin bisa mencakup sarana dan prasarana pendidikan, fasilitas kesehatan dan pemukiman tunawisma atau orang-orang jompo. Demikian pula definisi riqab, yang dalam ilmu fiqih adalah orang dengan status budak, untuk zaman sekarang jelas tidak bisa ditemukan. Tetapi makna yang mendalam dari riqab adalah menunjuk gugusan manusia yang tertindas, dieksploitasi baik secara personal maupun struktural. Dalam hal ini zakat bisa diperankan untuk membebaskan para buruh rendahan yang mempunyai gaji kecil dan tertekan oleh pekerjaan dan majikannya.
            Disinilah makna terdalam dari kehadiran sejumlah tokoh yang mengusung rasionalitas dan kebebasan berpikir. Adalah merupakan suatu sejarah yang terus berulang dimana ada kelompok yang berinisiatif melakukan pembaruan, pasti ada kelompok lain yang meresponnya. Barang kali menjadi fakta yang harus dicermati secara bijak, bahwa tradisionalisme akan selalu berhadapan dengan  liberalisme. Mengharap tradisionalisme sebagai solusi adalah mimpi, sebagaimana mengharap liberalisme sebagai sesuatu yang tunggal juga tidak realistis. Pergulatan antara tradisionalisme dan liberalisme mempunyai makna tersendiri dalam dinamika keislaman. Pada umumnya, menurut hemat saya, fakta tersebut mempunyai dampak positif dalam merangsang dialog pemikiran yang dinamis dan konstruktif.
            Bagaimana dengan Indonesia sebagai penduduk muslim terbesar didunia? tentu saja pemikiran-pemikiran liberal menyebar dengan cepat ke tanah air. Terutama dilihat dari sejumlah pengusung gagasan pembaruan , seperti Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo, Komarudin Hidayat, Nasarudin Umar, Saiful Mujani, dan puncaknya Ulil Abshor Abdala.
            Gagasan-gagasan pembaruan pemikiran yang diusung Cak-nur hingga islam liberalnya Ulil Abshar membeikan perhatian yang besar pada isu-isu islam inklusif dan pluralis ”hingga lahirnya karya monumental fiqih lintas agama” merupakan bukti , bahwa perlu tafsir kontekstual untuk mendongkrak kesadaran islam yang merahmati keragaman.
            Menurut hemat saya, hendaknya wacana keislaman kontemporer mempunyai signifikansi dan kesadaran progresif, perdebatan intelektual sejatinya tidak hanya berhenti pada meja diskusi, melainkan menjadi wacana yang bersifat praksis. Setidaknya, perdebatan–perdebatan pemikiran liberal dengan kalangan non-liberal terus mengemuka, Baik pemikiran liberal maupun pemikiran tradisional (fundamentalis) kedua-duanya memiliki hukum pasar sendiri. Sehingga kemungkinan eksis lebih terbuka. Dan tentunya keduanya harus saling menghargai dan terbuka.
            Memang tidak bisa dipungkiri,karena perdebatan yang muncul sering kali kurang menyentuh subtansi pemikiran. Kesadaran untuk menerima dan memberi antara kubu liberal dan fundamantalis hampir tidak bisa ditemukan. Masing-masing menjadi arus besar atau mazhab yang saling menafikan eksistensi yang lain.
            Karna itu gagasan islam liberal seringkali dipertanyakan banyak kalangan. Hanyakah gagasan islam liberal selama ini berhenti dalam ruang hampa dan semu? Apakah benar asumsi bahwa sasaran islam liberal adalah islam fundamentalis?
            Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya memberikan inspirasi bagi gerakan liberal untuk mempertimbangkan kembali strategi dan pilihan isu di masa-masa mendatang. Islam liberal harus mulai merambah pada problem-problem kekinian. Islam liberal harus berpihak dan menyentuh persoalan masyarakat yang paling bawah, sehingga kehadirannya memberi makna riil bagi masyarakat kalangan manapun. Pemahaman atas islam harus sejalan dengan kepentingan publik, tidak hanya kepentingan nalar semu. Karnanya hal prioritas adalah membangun keadilan dan kesejahteraan bagi bangsa ini. Selama ini gagasan keislaman liberal yang bernuansa kedamaian dan  moralitas hanya bergerak dalam tataran teoritis dan bersifat parsial. Tapi gagasan progresif yang berarti pembelaan terhadap kaum lemah, yang didalamnya membahas wacana-wacana actual, seperi pembelaan terhadap buruh, fiqih anti korupsi, membela kaum lemah fakir-miskin dan lain-lain, kurang begitu diangkat ke permukaan. Disinilah pentingnya agar islam liberal tidak hanya bermain dalam isu-isu  yang abstrak.
            Shalahudin Jursyi salah seorang intelektual asal Tunisia dalam buku feneomenalnya yang berjudul Al- islamiyun  AL- taqaddumiyyun mengatakan, Gagasan islam progresif mempunyai kehendak yang kuat untuk membela kaum lemah melalui tiga hal: debirokrasi pemerintahan, kebebasan mutlak, dan pemberdayaan masyarakat sipil. Shalahudi Jursyi bermaksud memberikan pengarahan yang konkrit tentang wilayah yang semestinya dilakukan oleh aktivis islam progresif.
            Penulis ingin mengutip pernyataan salah satu intelektual muslim NU Zuhairi Mishrawi yang mengatakan, Agenda islam progresif adalah memberikan penyadaran bahwa bahwa agama bukanlah cek kosong yang hanya menjual symbol, seperti gaung formalisasi syariat yang membahana dalam konteks politik mutakhir, melainkan agama harus menghadirkan kesadaran moral dan etis yang memberi direction bagi pembebasan dan pembelaan terhadap publik. karena itu, beragama tidak cukup hanya dengan membela Tuhan, akan tetapi yang tidak kalah penting adalah membela kemaslahatan umum.
            Barangkali tulisan ini cukup membuka wawasan kepada para pembaca semuanya untuk bisa membedakan antara golongan islam liberal dan golongan islam progresif. Islam kaffah bukanlah cara pandang tunggal dan menegasikan perbedaan, tetapi kesediaan membangun ruang dialektik untuk memperkaya khazanah Hablun Minannas. Let’s in put it on the table, we can’t hidden it under our carpet

Selengkapnya...

MERDEKA
Oleh:Mohammad Firmansyah
Mereka Merdeka.
Merdeka punya mereka.
-Ya! mereka pernah merdeka.
-Tidak! sekarang mereka belum merdeka.
-Mereka hanya menerka mereka merdeka.
Ah! masak mereka menerka merdeka.
Bukan kah dulu mereka memperjuangkan merdeka.
Berarti merdeka hak mereka.
-Tidak! merdeka tak lebih dari rekaan mereka.
-Bodoh mereka! dasar keras kepala mereka.
kamu yang bodoh! memangnya kamu siapanya mereka?
-Aku merdeka yang mereka terka.hahaha...
Kamar yang sepi, 24 Agustus 08



Selengkapnya...

Nasihat Sang Guru
Oleh: Ahmad Adi Andriana

"Apapun jadinya kalian nanti da’wah tetap menjadi yang utama”. Sebuah nasihat sederhana tapi sulit di terjemahkan ke dalam realita nyata, karena itu berarti da’wah harus menjadi titik fokus. Dengan memberikan ruangan besar dalam pikiran kita untuk da’wah. Untuk menciptakan realitas “apa jadinya kita nanti” berdasar ruangan besar itu. Karena seperti kata Abraham Lincoln “anda adalah apa yang anda pikirkan”. Bagaimana cara kita berfikir ini tidak ada kaitannya dengan teori dominasi otak kanan atau otak kiri, tapi ia lebih condong pada bagaimana emosi dan akal berfungsi yang kemudian mendorongnya ke alam keyakinan sampai akhirnya keyakinan itu mengombak dan mendidih sehingga tumpah menjadi tindakan.

Dengan kata lain mengadaptasikan hidup ke depan berdasar naskah di atas. Juga berarti meletakkan trilogi godaan ;harta, kekuasaan dan cinta di bawah da’wah. Ketiganya memiliki kekuatan pengaruh signifikan dalam membangunkan insting liar memiliki di dalam jiwa manusia. Jika insting itu terbangun, ia akan berkembang menjadi keserakahan dan keserakahan menuntut sejenis proteksi terhadap semua yang telah di peroleh; maka lahirlah penolakan berkorban, dan tidak mau mengakui bahwa da'wah adalah kewajiban bahkan tidak sampai batas itu saja kadang menjadi penentang yang pada akhirnya cerita suatu saat ketika Abdurrahman bin Auf sedang berbuka puasa, beliau mengatakan: "Mus'ab telah syahid dan ia lebih baik dariku, padahal kain kafannya tidak cukup untuk menutupi seluruh tubuhnya, jika kepalanya ditutup maka kakinya terlihat, jika kakinya ditutup maka kepalanya terlihat. Hamzah telah syahid dan ia lebih baik dariku, padahal tidak ada kain kafan yang ditemukan untuknya kecuali burdah-nya. Lalu dunia pun dibuka lebar untuk kami. Dan aku khawatir yang terjadi hanyalah bahwa kebaikan-kebaikan kami telah sengaja dibalas lebih dulu, hingga tak ada lagi yang akan kita peroleh di akhirat”, sulit terulang bahkan menjadi mustahil.
Kekuasaan kata ust. Anis Matta “ memaksa seseorang merakit seluruh energi kehidupannya untuk mendapatkannya dan memberinya candu heroisme, sesuatu yang karenanya membuatnya merasa sangat sophisticated, dan selanjutnya mendekatkannya pada sifat dan fasilitas ketuhanan“. Tidak heran jika spirit Umar dan Abu Bakar menolak bersemayam dalam idealisme. Terakhir cinta, menjadi sebuah dilema, dimana harus di selaraskan oleh rasio spiritual, karena cinta adalah inti emosi dan penggerak utama manusia adalah emosi, kata indah tentang cinta di ukir Sayid Qutb dalam puisinya.Ya Allah,Jika aku jatuh cinta,cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu, agar bertambah kekuatan ku untuk mencintai-Mu. Ya Muhaimin, Jika aku jatuh cinta, jagalah cintaku padanya, agar tidak melebihi cintaku pada-Mu, Ya Allah,jika aku jatuh hati,izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu, agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu. Ya Rabbana, jika aku jatuh hati, jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling dari hati-Mu. Ya Rabbul Izzati, jika aku rindu, rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu. Ya Allah, jika aku rindu, jagalah rinduku padanya agar tidak lalai aku merindukan syurga-Mu. Ya Allah,jika aku menikmati cinta kekasih-Mu, janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirmu. Ya Allah.jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu, jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu. Ya Allah. jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu, jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan aku pada cinta hakiki, dan rindu abadi hanya kepada-Mu”. Inilah perang batin, karena saat itulah pertarungan mempertahankan keabadian menjadi konflik nyata. Tak ada gemuruh tepuk tangan saat menang menundukan ketiga hal itu, hanya sunyi dan sepi yang pasti terganti di hari nanti. Itulah saat hidup kita mulai tersentuh keberkahan. Kita ada di puncak. Dan kita akan seyakin Umar dalam sebuah suratnya kepada Amru Bin Ash di Mesir,” tidak akan pernah sanggup mengalahkan orang-orang kafir dengan kecukupan sarana dan banyaknya jumlah tentara kita. Kita hanya dapat mengalahkan mereka karena kita beriman dan mereka kafir, karena kita bertakwa sementara mereka bermaksiat”.




Selengkapnya...

Menulis, Antara Pilihan Hidup dan Bakat

Oleh : Mohamad Firmansah

Sebetulnya hidup kita dihadapkan kepada pilihan – pilihan, kita tak bisa lagi mengelak dari pilihan hidup kita. Setiap orang menjadi penulis pasti punya jalan sendiri – sendiri. Tapi yang jelas mereka “penulis“ sudah menjadikan menulis sebagai pilhan hidupnya, menulis bagi saya pribadi adalah sebuah kegiatan yang sangat menyenangkan. Kita bisa menularkan pemikiran kita kepada orang lain, memberikan informasi, data, dan juga bisa kita memberikan pelajaran hidup baik hikmah atau nasehat. Ada anggapan, “buat apa saya menghabiskan waktu untuk menulis, membuat cerita yang nggak nyata, menghabiskan waktu berjam–jam di depan komputer, lebih baik saya membetulkan genteng rumah, menguras bak mandi itu lebih real manfaatnya“, saya tidak tersinggung dengan perkataan demikian, tidak ada yang salahnya memang. Karena itu menyangkut pilihan hidup yang empunya kata. Mungkin perkataan itu keluar dari mulut seorang tukang dan pembantu rumah tangga. Namun adakah peluang mereka (tukang dan pembantu) tuk menjadi penulis? Padahal bakat dan motivasi mereka tak punya, sebenarnya ada hubungan apa bakat dengan pilihan hidup ini, khususnya di bidang saya, menulis. Kembali saya katakan, hidup selalu di hadapkan dengan pilihan – pilihan.

Perhatikan analisa berikut ini, contoh kasus, awal seorang pemuda menyukai menulis puisi, ternyata pemuda ini unik, pemuda ini tiba–tiba pandai membuat puisi, padahal dulunya susah sekali merangkai barang satu bait puisi, mungkin butuh kursus untuk dapat ia ciptakan satu bait puisinya, Namun, suatu ketika ia jatuh cinta dengan seorang gadis. luar biasa dalam hitungan waktu yang relatif singkat, ia jadi pandai sekali berpuisi, mungkin lebih tepatnya ia menjadi penyair dadakan. Lewat puisi–puisinya ia pun mulai mengungkapkan segala isi hatinya kepada kekasihnya itu, dengan gaya bahasa yang puitis dan pemilihan diksi yang tepat. Padahal sebelumnya ia tak temui dalam kamus hidupnya, bergelut dengan bahasa sya’ir. Bisa saya katakan orang akan memaksimalkan potensi yang ia miliki untuk mendapatkan sesuatu yang ia cintai, begitu juga halnya pemuda tadi, ia benar - benar memaksimalkan potensinya untuk berpuisi, mungkin pemuda itu memulai dari memburu buku – buku puisi bekas di toko buku loak, bergabung dengan komunitas pecinta puisi, atau bisa jadi belajar langsung dari penyair yang sudah tersohor itu bisa saja ia lakukan, pemuda itu telah memaksimalkan potensi seluruh anggota tubuhnya, mata, otak dan tangannya tuk mendapatkan cinta kekasihnya lewat puisinya itu.

Seperti hal nya orang yang cinta mati dengan memancing ia akan rela berjam – jam menunggu umpan itu termakan ikan buruannya, bagi pemancing kenikmatan memancing, ya menunggunya itu, apalagi kalau mendapatkan ikan yang besar. Pemuda dan pemancing itu telah membuktikan adakah bakat sebelumnya di dalam diri mereka? Lantas apa yang membuat mereka seperti itu.

Seorang penulis terkenal Pak Jonru pernah bertutur, tentang perjalanan kariernya sebagai penulis, awalnya ia ditawarin bisnis MLM (Multi Level Marketing). Tawaran dari teman – teman mulai menghujaninya terus menerus tuk bergabung, namun beliau kandas dan bisa dibilang gagal. Pak Jonru beranggapan ia tak berbakat sama sekali dalam bisnis ini, sampai–sampai ia merasa jengkel ketika masih ada temannya yang masih ngotot merayunya tuk terus bertahan dalam bisnis MLM ini, “Untuk terjun ke bisnis, bakat tidak penting kok. Saya dulu sama sekali tak punya bakat. Tapi saya bisa sukses seperti sekarang ini.”

Dan tragisnya ini terjadi pula dalam dunia kepenulisaan, ketika seorang penulis senior berucap kepadanya “Untuk menjadi seorang penulis yang hebat, bakat tidak terlalu penting, kok..bla…bla…bla…” dan tragisnya lagi saya pun sangat setuju dengan perkataan itu, tukas Pak Jonru

Kisah Pak Jonru di atas terkesan menganak tirikan, dua realita yang berbeda tapi sama dalam kontennya, yakni tidak pentingnya sebuah bakat untuk menjadi seorang pembisnis MLM yang sukses maupun menjadi seorang penulis yang handal. Bisa kita katakan ia sudah bersikap diskriminatif.

Setelah menemukan jawabannya, ia pun sadar, ia mencoba menemukan argumen yang dapat diterima oleh akal dan menguatkan dirimya. Jawaban yang mungkin bisa membisukan mulut si pembisnis MLM yang tak kenal lelah melancarkan bujuk rayunya. Dan ini lah yang di katakan beliau.

“ Ini adalah sebuah pilihan hidup!”

Ya, benar. Semuanya berpulang kembali ke pilihan hidup kita.

Seandainya jika kita mau dan mempunyai motivasi yang kuat, seorang yang tidak mempunyai bakat sama sekali dalam bisnis MLM pasti bisa menjadi seorang pembisnis MLM yang sukses, punya omset 1M mungkin, punya downline yang banyak mencapai ratusan orang, atau kelak bisa membeli sebuah pulau, semua itu bisa terjadi, mengingat bisnis MLM ini sangat membahagiakan dari segi materi. Namun, ternyata yang terjadi pada Pak Jonru ini lain, ia pun mengakui dirinya tak selera sedikitpun ketika menjalankan bisnis MLM ini, ia tidak seperti pembisnis MLM yang lainnya , yang memandang manusia sebagai ladang uang yang kelak menghasilkan panen yang wah, ia terkesan ogah – ogahan dalam mencari pembeli, ia berpikir, enggak penting – penting amat githu lho, mencari uang dengan cara seperti itu.

Dan kalau kita telaahi itu semua, itulah jawaban dari pada kegagalan seorang Pak Jonru dalam bisnis MLM.

Dalam dunia kepenulisan pun sama, penulis tak berbakat bisa jadi mengalahkan para penulis yang sudah berbakat ketika ia terus-menerus menulis dan membaca untuk meningkatkan kualitas dirinya, dengan syarat penulis berbakat lawannya itu, mandek untuk menulis. Pasti penulis tak berbakat mampu mengalahkan penulis berbakat tadi, ia pun bisa mendapatkan gelar penulis berbakat selanjutnya,dan ia menjadi penulis sesungguhnya, sedangkan penulis yang mandek itu bisa kita kasih gelar mantan penulis. he...he.... Padahal kalau kita tahu seorang yang mempunyai bakat adalah mempunyai nilai plus, ia akan dengan mudah menyerap teori – teori menulis, dan proses belajar relatif lebih cepat ketimbang mereka yang sama sekali tidak mempunyai bakat.

Bagi mereka yang tidak mempunyai bakat sama sekali tak usah risau, dalam dunia penulis tak ada istilah calon penulis, bagi mereka yang belum menghasilkan sebuah karya layak kok nyandang predikat sebagai penulis, selama kita tetap menulis dan berkarya. Seseorang yang mempunyai bakat dalam menulis tapi tidak diiringi oleh keinginan yang kuat atau motivasi yang besar, saya bisa menjamin orang tersebut tidak selamanya bisa menjadi penulis. Inti dari permasalahan kita adalah KEINGINAN dan MOTIVASI yang kuat adalah FAKTOR TERBESAR dalam menentukan keberhasilan kita di segala bidang, sepakat! camkan itu!. Untuk menjadi sukses, peran bakat hanya 1% selebihnya 99% adalah kerja keras.

Sejatinya bagi para penulis yang tidak berbakat, hendaknya tekankan dalam diri, “menulis adalah pilihan dari hidup saya, saya pantang memperlakukan ia sebagai hobi semata, yang saya tekuni ketika ada waktu luang saja,lalu ditinggalkan begitu saja ketika pekerjaan kantor, kuliah, toko banyak menyita waktu. Saya harus mengkhususkan waktu untuk membaca dan menulis.”





Saya pernah membaca dalam sebuah artikel, seorang Helvi Tiana Rosa dalam sebuah peluncuran kumcer, hasil karya anggota FLP Hongkong, yang sebagian besar anggotanya adalah pembantu rumah tangga, ia berkat dalam sebuah forum “ Mulai sekarang apabila ada seseorang yang bertanya kepada kalian, apa profesi kalian. Jawablah ‘Profesi kami penulis dan hobi kami membantu orang lain’.” Sebuah pilihan yang berani bukan?!

Adalah sikap seorang penulis – baik itu yang berbakat atau tidak berbakat – hendaknya, jika mereka memilih menulis sebagai pilihan hidup dan ingin terjun kedalamnya serta sukses dalam dunia kepenulisan, ia berani berkata pada diri sendiri “Saya adalah penulis, hidup ini untuk menulis, menulis adalah bagian hidup dan gaya hidupku.“

Bagi penulis berbakat ada pesan buat anda “Jangan anda sekali–kali menyia–nyiakan anugerah yang telah Allah berikan, anugerah yang amat berharga dan ingat anugerah ini adalah ladang amal kita.”

Buat penulis yang tidak berbakat tidak, “ Ayo terus berkarya, kalahkan penulis berbakat itu, karena mereka tidak punya niat sama sekali untuk bersaing dengan kamu, kitalah penulis sesungguhnya.”



NB : sebagian isi disadur dari posted in Dunia Penulisan Pak Jonru
Selengkapnya...

KETIKA KAMPUS BEGITU SEMPIT
Oleh:Imron Hasyim

Malas, kesal, benci, jengah, kacau, jadi satu tidak menentu, setiap titiknya memberi warna dan rasa, aku rindu masa lalu, enak rasanya jika bisa seperti dahulu, ingin ku ulang masa lalu, sambil melakukan yang dahulu belum pernah aku lakukan(seakan memang akan lebih baik).
Perasaan seperti itu mungkin pernah melintasi kepala kita sebagai seorang manusia yang hidup mengikuti waktu, entah kapan akan berakhir hanya Dia yang tahu, seperti menjadi lakon dalam sebuah drama dimana akhir cerita hanya sutradara yang menentukan, segala sesuatu sudah diatur hingga kemana arah tujuan semuanya ditangan sutradara.



Masa orientasi itu tiba riuh rendah suara panitia menggema di sela lorong gedung kampus yang menjulang, warna warni identitas jurusan kesayangan hadir begitu semarak, apapun akan di jalankan selama itu perintah kakak atasan.
Kampus tingkat berikutnya setelah putih abu abu, tempat dimana manusia manusia peradaban lahir, dan tangan tangan pembela rakyat serta ideology kebenaran hadir, siapapun ada di sana ujang, ucok, buyung, warna kulit apapun bergabung disana, segala disiplin ilmu mudah didapatkan, tidak ketinggalan bermacam kemampuan dan kompetensi para pemuda dengan mudah bias ditempa dan di wujudkan.
Berbagai warna organisasi hadir beabas berkeliaran mencari sang idealis idealis sejati yang punya semboyan “ni gw” nah “sapa lo”, tidak dipungkiri dari kampuslah para pemimpin hadir dan terlahir, di seluruh dunia dibelahn bumi mana pun, dari kampuslah gaung perubahan dan peradaban terdengar, dengan jas almamater dan semangat perubahan, masyarakat menggantungkan harapan dan cita – cita besar mengawal dan menjaga bangsa, menjadi pondasi yang kokoh demi masa depan yang gemilang, karena masa depan suatu bangsa ditentukan oleh siapa pemudanya saat ini, jika buruk pemudanya bisa dipastikan masa depan bangsa itu juga akan diujung tanduk.

Namun sampai hari ini perlu kita sadari dan renungkan bersama seperti apa kampus ku, kita, hari ini? Masihkah menyimpan nilai nilai luhur yang ideal, pembawa semangat api perubahan, sebagai laboratorium peradaban, penjaga gerak langkah penguasa, ibu kandung para intelektual sejati.
Atau malah justru sebaliknya, ternyata kampusku kita, hari ini malah hanya tempat kedua setelah mall mall yang berseliweran dengan angkuhnya ditengah jerit anak pengemis jalanan, atau hanya sekedar tempat persembahan ijazah sarjana bagi orang tua, tanda Tanya besar bagi ku kita semuanya.
Sudut sudut kampus berjejer duduk mengepul bagai kereta uap stasiun, petantang petenteng dengan serombongan bodyguard melangkah gontai bagai pemilik modal padahal hanya pengemban amanah mahasiswa, obral kiri kanan merek hp seperti negara ini berada dalam kesejahteraannya semata, pusing tujuh keliling cari tempat makan akan makan dimana hari ini, disudut lain makan ga hari ini.
Inilah kenyataannya, semua punya hak tapi juga semua punya kewajiban, hak seseorang dibatasi hak orang lain, kewajiban kita juga dibatasi kewajiban orang lain. Semua yang kita perbuat tentu ada pertanggung jawabannya, sungguh seandainya kampus sepi?
walllahuallam bishawab



Selengkapnya...

RAMADHAN BUKAN AJANG SELEBRITISME AGAMA
Oleh:MUMU
Kini Ramadhan yang Agung akan Segera Tiba
Kembali dalam denyut nadi umat islam diberbagai belahan bumi. Bulan yang istimewa bagi umat islam khususnya bangsa indonesia, memadukan kompleksitasnya ditengah krisis kebangsaan. Ibadah ramadhan disaat rakyat sedang sekarat tersendat naiknya harga BBM yang kemudian diikuti harga-harga kebutuhan lainnya. Tapi ada satu hal yang selalu hadir dalam ruang ketidak sadaran(unconsciousness) kita semua. Tayangan televisi yang tak ketinggalan ikut terjun dalam men-disign "mega proyek"yang bernama Ramadhan.
Dalam waktu yang hampir 24 jam, dilayar kaca kita semua bisa menyaksikan multiprogram yang terkesan religius. Mulai dari ceramah, kuis, sinetron, iklan dan bahkan presenter yang membawakan acara kesemuanya dibingkai dalam setting yang agamis. Apakah hal itu menunjukkan bangsa kita sedang proses kembali pada kesadaran akan ketuhanan ( God Consciousness), atau menandakan zaman Selebritisme Hampa Makna.



OLeh penulis fenomena yang sedang menggejala tersebut dinamai sebagai " Selebritisme Ramadhan". Mempolitisasi Ramadhan untuk dijadikan komodotas dagang karena marketable dan menjadi trend yang populer dan memancarkan citra ( image) yang "wah". Orientasi puncaknya yaitu politik media atau televisi yang mengincar keuntungan semata ( Kapitalisme), tanpa peduli apakah akan menyentuh nilai-nilai keagamaan ( Value Of Religion), moralitas (Morality), dan kemanusiaan ( Humanity). Yang ada adalah semacam sofistikasi( keberpura-puraan), dan hanya menonjolkan aspek formalisme-formalisme, tetapi sejatinya hampa makna ( Blank Of Meaning).

Ramadhan yang Realis dan Transformatif
Peran media atau televisi dalam mengapresiasi fenomena Ramadhan yang diistimewakan oleh Allah. Bulan yang dijadikan sebagai senjata perang melawan nafsu yang egois justru terperangkap dalam kebiadaban nafsu sendiri. Sebagaimana perkataan Rosulullah," Kita baru saja selesai dari perang kecil ( badar), dan akan menghadapi perang yang lebih besar yaiut perang melawan hawa nafsu (dengan puasa)" demikianlah ucaan Rosulullah dihadapan para prajuritnya.
Malahan kita yang menggantikan peran syetan sehingga gemar menumpuk dan mengejar hal yang bersifat materialis-hedonis semata. Trend busana muslim, aneka makanan dan minuman, HP dan aneka kebutuhan sehari-hari yang dihubungkan dengan Ramadhan semakin mengiris hati saudara kita yang masih hidup dalam kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan.
Selebritisasi dan kapitalisasi Ramadhan bukannya membangun moral keummatan dan kebangsaan yang baik, tetapi justru menghadirkan yang begitu pelik menjadi semakin suram. Penyakit Korupsi, BBM mahal Flu burung dan terorisme membutuhkan kepekaan yang bisa kita munculkan ibadah Ramadhan yang tranformative. Menyantuni anak-anak jalanan, fakir miskin dan saudara yang masih kekurangan adalah manifestasi ibadah puasa yang berasal dimensi ke-Tuhanan menuju realitas yang membumi, atau dalam istilahnya Hassan Hanafi " From God Land".
Dengan menjalankan ibadah puasa yang realis dan transformative semoga perubahan kearah yang lebih baik menanti negeri yang nestapa ini. Sebuah hadist Qudsi menerangkan; " Seluruh amal ibadah anak adam diperuntukkan kepasa pelakunya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa adalah untukku dan aku mengganjar karenanya". Secara tersirat ibadah puasa menjadi privilege Allah karena kerahasiaannya. Maka kita seharusnya menjaga ibadah yang istimewa dihadapan Allah itu untuk menuju hal-hal istimewa pula.


Selengkapnya...

Abul Hasan Al Mawardi 974 – 1058 M
Babak baru dalam pemikiran politik islam

Oleh:Ahmad Adi Andriana

Abul Hasan Al Mawardi, satu dari pemikir dan ulama Islam yang menjadi model dari perkembangan peradaban Islam dan kristalisasi turatsnya, terutama yang berhubungan dengan politik dan implementasi syariat.

Di lahirkan di Basrah, belajar fiqh, hadits dan ilmunya dari para ulama terkenal pada zamannya kemudian pindah ke Bagdad dan meneruskan pengembaraan intelektualnya dalam fiqh dari para fuqaha Bagdad sampai kemudian mulai memberikan kuliah dalam fiqh dan tafsir.

Kekhilafahan Abasiyah pada saat itu sedang dalam masa kemundurannya di bawah kepemimpinan Daulah Buwaihiyah dan di antara faktornya adalah kejumudan berfikir yang terus di lestarikan sejak masa Mutawakil, yang mengakibatkan kepemimpinanya hanya sebatas formalitas saja sampai akhirnya menyerahkanya pada kehancuran.

Dalam kondisi pemerintahan seperti ini Al Mawardi memangku tampuk kekuasaan dalam qadha di beberapa Negara kemudian mengepalai qadha di Kurah dan pada masa khalifah Al Qaim Biamrillah, Al Mawardi menempati posisi sebagai qadhi al qudhaat.



Di samping beberapa peninggalan dalam qadha Al Mawardi juga mewariskan bangunan menjulang dalam dua belas bukunya, pada warisannya ini kita bisa menemukan pada pemikirannya hal hal luar biasa dari kreativitasnya yang baru. Dalam hikmah dan sastra ia memiliki uslub yang mudah dan bahasa yang ringan di sertai sisi balaghahnya dan luasnya pengetahuan dalam isi yang terkandung pada kalimat kalimatnya, cukup kita membuka bukunya Adabu Ad Dunya wa Ad Din untuk membuktikanya dan mengetahui tingginya tingkatan makna, hikmah dan teori, sehingga dalam susunan bahasa yang mudah dan kuatnya sisi balaghinya menjadikan buku ini sebagai buku panduan di beberapa sekolah di mesir selama beberapa tahun lamanya. Juga dalam fiqh, qadha dan implementasi syariat ia meninggalkan warisan kejeniusan ulama fiqh islam dalam menyusun perundang undangan, ini di samping beberapa isyarat yang melebihi kualitas seorang qadhi ketika meletakan batasan dan standar bagi penguasa. Ia juga meninggalkan warisan dalam tafsir dan nahwu

Dalam Ilmu Politik

Tapi warisan yang lebih berharga yang di tinggalkan Al Mawardi adalah dalam politik, dari segi kuantitas dalam hal ini ia meninggalkan:

1.Al Ahkam As Sultaniyah

2.Nasihatul Muluk

3.Tashilu An Nadhor

4.Qawanin Al Wizarah wa Siyasatul Muluk

Sebagaimana juga buku bukunya dalam masalah fiqh dan qadha, dan bukunya Adabu Ad Dunya wa Ad Din memiliki keterkaitan yang erat dengan pemikiran politiknya, bahkan lebih daripada kuantitas yang di tinggalkannya ia juga menjadi motor penggerak utama dalam pemikiran politik pada sejarah kita. Sebagai awal perpindahan baru dalam perkembangan politik islam. Sebelum Al Mawardi pembahasan tentang politik, idarah dan wilayah terutama wilayah ammah berupa imamah dan khilafah hanya terdapat dalam buku buku kalam – walau sebenarnya hal ini termasuk dalam masalah furuiyah dan bukan ushuliyah menurut seluruh firqah yang ada dalam Islam kecuali Syiah- para pemikir Syiah meletakannya pada urutan pertama dalam buku-buku ilmu kalam sementara para pemikir Ahlu Sunnah dan Mu'tazilah meletakanya pada urutan terakhir sebelum berpindah ke pembahasan tentang furuiyah atau permasalahan fiqh.

Hal itu terjadi karena awal mula pembukuan tentang pembahasan imamah hanya di lakukan oleh para pemikir Syiah, karena menurut mereka termasuk pada rukun agama dan ushulnya maka wajar jika mereka memasukanya pada buku-buku ushuluddin dan ketika datang Mu'tazilah di ikuti oleh firoq lainya membantah mereka, Mu'tazilah menyebutkanya pada urutan terakhir dalam pembahasan ilmu kalam sebagaimana di gambarkan oleh imam Al Gazali ("sesungguhnya teori imamah bukan termasuk hal utama dan inti, juga bukan termasuk seni ma'qulat di dalamnya akan tetapi termasuk fiqhiyat") juga tidak jauh berbeda dengan apa yang di katakan oleh Al Jurjani dan Al Iji (" bahwa sesungguhnya imamat (kepemimpinan tertinggi) bukan termasuk ushul agama dan aqidah akan tetapi termasuk furuiyah yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Dan kenapa kami menyebutkanya dalam ilmu kalam tidak lain hanya mengikuti pendahulu kami karena sudah menjadi kebiasaan para mutakalimin meletakanya di akhir buku mereka…")

Kebiasaan ini telah mengakar sehingga selalu terjadi campur aduk dalam madzhab Syiah karena meletakan pembahasan politik dalam buku ushuluddin, sebuah hal yang memberikan kesimpulan secara tidak langsung bahwa imamah, konsep pemerintahan dan kewilayahan dalam madzhab Syiah termasuk urusan inti agama yang untuk memutuskanya harus berdasar wahyu dan bukan manusia, inilah juga yang menjadi payung pelindung orang yang mengatakan " Negara agama " atau system pemerintahan yang berdasar "mengatas namakan hak Tuhan" untuk melancarkan panah keraguan bahwa di saat Negara berdasar syariat islam akan tidak jauh berbeda dengan kekuasaan Paus di abad pertengahan.

Dari sini kita dapat mengetahui peran Al Mawardi ketika datang meluruskan kesalahan dengan mengambil jalan berbeda dari "kebiasaan yang telah mengakar" dan kedudukannya sebagai pelopor pertama dalam hal ini. Pelurusan yang di lakukan Al Mawardi jelas dan menusuk, ia tidak mengambil pembahasan tentang imamah dan konsep pemerintahan dari buku ilmu kalam kemudian berpindah ke buku Fiqh akan tetapi ia menyusun sebuah buku khusus dalam masalah ini yang berjudul Al Ahkam As Sultaniyah sebagai buku pertama yang disusun dengan gaya berbeda yang tercatat dalam sejarah sebagai sebuah seni mandiri yang terbebas dari fiqh dan ilmu kalam dan menempatkanya dalam bentuk madani dan berperan dalam membelah awan hitam yang di ciptakan oleh suasana udara keagamaan selama bertahun tahun lamanya.

Al Mawardi menceritakan tentang proyeknya ini dalam muqadimah bukunya (Al Ahkam As Sultaniyah) ia berkisah "dan karenanya hukum pemerintahan itu lebih berhak bagi para pemegang keputusan, dan pencampuranya dengan segala hukum menghalangi mereka untuk membukanya di tambah mereka di sibukan oleh urusan politik dan pemerintahan maka saya menyusun secara khusus sebuah buku tentangnya.. ". Ia di sini tidak hanya meluruskan kebiasaan yang salah dalam penyusunan sebuah buku akan tetapi ia juga mengarahkan pada luasnya ranah yang dapat di sentuh oleh pembahasan ini, sebuah hal yang sangat sulit untuk mengetahui pakar pakar di dalamnya jika di letakan dalam pembahasan selainnya.

Manusia : makhluq sosial..kekuasaan : madaniyah :

Jika sebelumnya telah cukup memberikan isyarat dan tidak perlu perincian, yang menunjukan perbedaan seni politik dengan lainnya, dan kedatangan Al Mawardi dan bukunya sebagai tanda akan perbedaan ini dan Al Mawardi sebagai pelopor dan motor utama dalam pemikiran politik islam, dengan beberapa fakta:

1. Al Mawardi dalam bukunya memaparkan satu bab yang membahas politik ; kekuasaan tertinggi (imamah), kementrian, kepemimpinan suatu wilayah, peperangan, perhakiman, dan perekonomian. Kemudian satu bab tentang wilayah keagamaan, yang berada pada urutan setelah wilayah politik ; imaratul haj, keharusan pemimpin dalam salat sebagai imam. Dalam hal ini Al Mawardi mencoba membedakan antara dua macam wilayah kepemimpinan bahkan menjadikan judul bukunya ( Al Ahkam As Sultaniyah wa Al Wilayat Ad Diniyah ) sebagai penguatan perbedaan antara keduanya.

2. Al Mawardi bahkan sebelum Ibnu Kholdun dan sebelum para pemikir abad aufklarung barat atau renaisance telah menawarkan dan menguatkan sisi sosial pada manusia yang menjadi rahasia di balik terbentuknya tatanan masyarakat yang kecil maupun besar dan sebab dari terbentuknya kekuasaan pada tatanan ini, yang merupakan kekuasaan sosial untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dari sisi sosial pada diri manusia atau dengan kata katanya ia merangkai "manusia di ciptakan dengan memiliki kebutuhan terhadap sesama jenisnya, dan permintaan tolong merupakan sifat yang lazim dan merekat pada tabiatnya dan pembawaanya berdiri di atas esensinya"

3. Manusia, menurut Al Mawardi bukan individu yang terpisah dari masyarakatnya, karena ia telah menyimpulkan bahwa jiwa sosial pada manusia merupakan bawaan sejak lahir, sebagaimana juga pandangan pada kelompok bukan berarti menurunkan harga individu, tetapi kita melihat Al Mawardi menguatkan sebuah pandangan yang seimbang; titik perhatian yang sama antara individu dan kelompok, bukan berdasar pandangan seimbang formalitas saja yang sebenarnya membedakan dan membenturkan dua kepentingan yang berbeda akan tetapi berdasar kemaslahatan individu terkait dan terikat oleh kemaslahatan kelompok dan kemaslahatan kelompok tidak bisa tercapai tanpa kemaslahatan individu sebagai individu..! Al Mawardi membuka pemikiran yang penting, layak dan berkembang ia berkata : "ketahuilah bahwa kemaslahatan dunia di ukur dengan dua hal ; teraturnya urusan secara keseluruhanya, dan baiknya kondisi setiap individu di dalamnya. Dua hal ini tidak bisa baik salah satunya tanpa kesertaan lainya, karena orang yang baik keadaanya sementara dunia hancur berantakan tidak menutup kemungkinan akan merembet pada dirinya dan menghancurkan keseimbanganya, sebab darinya ia bersumber dan untuknya ia di persiapkan. Dan orang yang hancur keadaanya dan dunia baik serta seimbang segala sesuatunya, tidak akan di temukan kenikmatan dan pengaruh dari kebaikan dan keseimbangan dunia karena manusia dunia dirinya sendiri, tidak akan melihat kebaikan jika tidak mendatangkan kebaikan pada dirinya dan tidak akan melihat keburukan kecuali ketika mendatangkan petaka bagi dirinya karena dirinya selalu istimewa dan keadaanya selalu di utamakan maka pandanganyapun hanya pada hal yang membuat dirinya istimewa dan pikiranya hanya tertuju pada yang ia utamakan…"

4.berdasarkan hal ini Al Mawardi mengaitkan tolak ukur kemaslahatan, bahagia dan petaka antara individu dan kelompok yang tersusun dari individu dengan gaya dan bentuk yang baru dan inovatif juga ketika ia membahas bentuk dan tatanan ideal yang akan membawa kebaikan bagi umat manusia dengan menempatkan syura dalam prinsip politik dan menjadikanya sebagai falsafah system pemerintahan dalam islam.

Dalam hal ini ia memaparkan secara menarik pendapat berbagai aliran dan para pemikir setelah mengupas tentang syura dan keharusanya bagi pemimpin dan umatnya, ia menyebutkan bahwa aliran di Persia dan pemikiran politik mereka melihat syura sebagai perkumpulan berbagai orang, ketika ada satu orang yang mengeluarkan suatu pendapat maka peluang untuk kritik, perbaikan dan penjelasan terbuka lebar, kemudian menyebutkan aliran lain beserta para pemikir politiknya yang melihat bahwa syura hanya bersifat individual dengan bentuk di berikan kesempatan bagi yang berpengalaman untuk merenung dan berfikir hingga dapat memetakan suatu permasalahan dan bagaimana memecahkanya, tidak jauh berbeda dengan apa yang di lakukan oleh seorang peneliti ketika di hadapkan berbagai fakta dan permasalahan, sebuah bentuk syura yang menghindarkan suatu musyawarah dari berdasar mayoritas dan dari ketamakan meloncat pada kebenaran karena biasanya watak manusia ketika ia sendirian memecahkanya ia akan mengerahkan segenap pemikiran, ijtihad yang ketika di kumpulkan akan berantakan dan terpecah pecah dan hanya mengikuti pemikiran yang mengkilau pada awalnya saja.

Setelah ia memaparkan kedua aliran tersebut ia mulai pada pendapatnya tentang bentuk syura yang menggabungkan antara dua hal tersebut dengan setiap bentuk memiliki beberapa kriteria tertentu atau beberapa tahap tertentu dari tahap tahap musyawarah dan ijtihad.

Ketika suatu permasalahan yang di musyawarahkan jelas dan tidak sulit untuk di temukan celah kekurangan di dalamnya maka yang di tuntut hanyalah memutuskan 'apakah hal itu benar atau salah?" dan kesepakatan seluruh peserta menjadi sebuah model yang di tuju. Akan tetapi ketika permasalahanya masih simpang siur dan membutuhkan pengkajian lebih mendalam maka penyendirian atau pengucilan diri setiap anggota musyawarah terhadap masalah tersebut sangat di tuntut sampai menemukan titik terang berdasar pengkajian tersebut maka saat itu suasana dan kondisi telah efektif untuk di paparkan hasil dari pengkajian dan untuk sampai pada kesimpulan final atau dengan kata katanya" yang lebih baik dalam kondisi seperti ini, setiap orang mengucilkan dengan pemikiranya dan memfokuskan diri pada hal itu untuk berijtihad menemukan jawaban sampai terbuka apakah benar atau salah, dalam berijtihad menemukan jawaban bersifat individual sementara dalam membukakan kebenaranya bersifat kolektif karena individualitas dalam berijtihad lebih jelas dan kolektif dalam berdebat lebih kuat"

Al Mawardi ketika menawarkan kepada kita tambahan ini dalam pemikiran politik pada zamanya menunjukan akan orisinalitas yang tumbuh dari bumi peradaban yang menjadikan keseimbangan sebagai sikap dan menolak ekstrim dalam berbagai hal, ranah dan tempat (islam), ia juga dengan pemikiran seperti ini telah mendahului zaman kita, apa yang ia bicarakan dan sampaikan pada kita persis bahkan sama dengan apa yang kita temukan hari ini di berbagai majlis pemusyawaratan dalam berbagai sitem demokrasi, di mulai dari para pakar dan lajnah lajnah terbatas maupun tidak terbatas yang masih terus mengkaji dan juga berbagai perkumpulan dan mu'tamar untuk memutuskan mana yang layak dan terbaik dan pembatasan benar atau salahnya.

Al Mawardi adalah seorang dan akan selalu- khususnya dalam pemikiran politik -sang jenius yang masih menanti orang orang yang akan mengungkapkanya dan itu akan menjadikan pandangan umat islam lebih orisinalitas pada peninggalan dan warisan nenek moyangnya dan nenek moyang kita bukan manusia purba tapi para ulama seperti Al Mawardi dan umat islam akan semakin di kuatkan dan di kukuhkan untuk bisa bangkit kembali di masa yang akan datang dan bukan mencari jawabanya pada peradaban mesir kuno, yunani, romawi ataupun barat.
Selengkapnya...

PUISI BINATANG

oleh: Muhammad Firmansyah

Ayam berpuisi “kukuruyuuuuk…”

Burung tak mau kalah “citcitcuit…citcitcuit”

Kambing ikut terpancing tuk berpuisi “mbeee..mbee”

Sapi menyambung kambing “ mmooo…”

Btw mana puisi kalian?

Banda Aceh, 8 Agustus 08

MANDI

Gw guyur

Byur byur byur !

Gw guyur

Hihihihi….dingin

Banda Aceh, 8 Agustus 08

SMS Tengah Malam

met bo2

hppy nce dream,

Jgn lpa brdoa dlu ya!!

Banda Aceh, 8 Agustus 08




Selengkapnya...